Gambar

Gambar
sapi

Senin, 07 Mei 2012

PRINSIP PENGOBATAN

Oleh :

Drh. Imbang Dwi Rahayu, MKes.

Staf Pengajar Jurusan Peternakan

Fakultas Pertanian-Peternakan

Universitas Muhammadiyah Malang

Pemberian obat-obatan (kemoterapeutika) pada ternak bertujuan untuk mengatasi serangan penyakit. Pengobatan hanya digunakan setelah usaha pencegahan dan pengendalian penyakit terlaksana dengan baik.
Pertimbangan penting untuk membantu pengobatan ternak secara efektif yang dapat diikuti, antara lain adalah (1) diagnosis harus ditegakkan dengan isolasi dan identifikasi penyebab penyakit melalui pemeriksaan mikrobiologis (2) bibit penyakit harus peka terhadap obat terpilih (3) obat-obatan diberikan berdasarkan dosis dan waktu  pemberian yang tepat yang sesuai dengan rekomendasi pabrik pembuat obat (4) harus dilakukan kontrol respon ternak terhadap obat yang telah diberikan (5) pengobatan hanya dilakukan apabila diproyeksikan masih menguntungkan (6) harus mengetahui dan mematuhi waktu henti obat (withdrawl time), untuk menghindari residu obat.
Penggunaan antibiotik di bidang peternakan sudah sangat luas, baik sebagai imbuhan pakan maupun untuk tujuan pengobatan. Dampak yang ditimbulkan bisa menguntungkan atau merugikan tergantung dari berbagai faktor, termasuk dosis, route pemberian, dan sering tidaknya antibiotik jenis tertentu digunakan.
 Penggunaan Antibiotik dalam Bidang Peternakan
Antibiotik merupakan senyawa kimia yang dihasilkan oleh berbagai jasad renik, seperti bakteri dan jamur yang memiliki fungsi menghentikan pertumbuhan atau membunuh jasad renik. Penicillin dihasilkan oleh Penicillium, Cephalosporin dihasilkan oleh Cephalosporium. Antibiotik yang diperoleh secara alami oleh mikroorganisme disebut antibiotik alami, antibiotik yang disintesis di laboratorium disebut antibiotik sintetis, seperti sulfa. Antibiotik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan dimodifikasi di laboratorium dengan menambahkan senyawa kimia disebut antibiotik semisintetis.
Berdasarkan cara kerjanya, antibiotik dibedakan dalam 4 kelompok, yaitu  (1) antibiotik penghambat sintesis dinding sel, misalnya Penicillin, Bacitrasin, Novobiosin, Sefalosporin dan Vancomisin (2) antibiotik perusak membrane sel, misalnya Polimixin, Colistin, Novobiosin, Gentamisin, Nistatin dan Amfoterisin B (3) antibiotik penghambat sintesis protein, misalnya Tetrasiklin, Khloramfenikol, Neomisin, Streptomisin, Kanamisin, eritromisin, Oleandomisin, Tilosin dan Linkomisin (4) antibiotik penghambat sintesis asam nukleat, misalnya Aktinomisin, Sulfonamida dan derivat kuinolon.
Antibiotik dibedakan juga berdasarkan kemampuannya menekan pertumbuhan atau membunuh bakteri, yaitu antibiotik yang bersifat bakterisidal dan bakteriostatik. Antibiotik bakterisidal adalah antibiotik yang mampu membunuh sel bakteri, contohnya: Penicillin, Streptomisin, Bacitrasin, Neomisin, Polimiksin dan Nitrofurans. Antibiotik yang bersifat bakteriostatik yaitu antibiotik yang hanya mampu menekan pertumbuhan sel bakteri, contohnya : sediaan Sulfa, Tetrasiklin, Khloramfenikol, Eritromisin, Tilosin, Oleandomisin dan Nitrofuran.
Secara umum antimikroba yang mempengaruhi pembentukan dinding sel atau permeabilitas membrane sel bekerja sebagai bakterisid, sedangkan yang mempengaruhi sintesis protein bekerja sebagai bakteriostatik. Bakterisid adalah zat yang dapat membunuh bakteri dan bakteriostatik adalah zat yang dapat mencegah pertumbuhan bakteri, sehingga populasi bakteri tetap. Beberapa senyawa kimia antimikroba, antara lain fenol, alkohol, halogen, logam berat, zat warna, deterjen, senyawa ammonium kuartener, asam dan basa.
Berdasarkan atas sifat bakteri yang peka, antibiotik dibedakan dalam 3 kelompok, yaitu (1) antibiotik yang peka terhadap bakteri Gram-positif, misalnya Penicillin, Basitrasin, Novobiosin, Sefalosporin, Eritromisin, Tilosin dan Oleandomisin 2) antibiotik yang peka terhadap bakteri Gram-negatif, misalnya Streptomisin dan Dehidrostreptomisin, Neomisin, Polimiksin, Colistin, Kanamisin dan Gentamisin (3) antibiotik spektrum luas, seperti Ampisillin, Amoksisillin, Tetrasiklin, Khloramfenikol, sediaan Sulfa, Nitrofurans dan Sefalosporin.
Dampak Negatif Penggunaan Antibiotik di Bidang Peternakan
Residu Antibiotik
Tiap senyawa anorganik atau organik, baik yang berupa obat-obatan, mineral atau hormon yang masuk atau dimasukkan ke dalam tubuh individu, akan mengalami berbagai proses yang terdiri dari : penyerapan (absorbsi), distribusi, metabolisme (biotransformasi) dan eliminasi.
Kecepatan proses biologik tersebut di atas tergantung kepada jenis dan bentuk senyawa, cara masuknya dan kondisi jaringan yang memprosesnya. Apabila bahan tersebut dimasukkan melalui mulut, penyerapan terjadi di dalam saluran pencernaan yang sebagian besar dilakukan oleh usus. Setelah terjadi penyerapan , senyawa yang berbentuk asli maupun metabolitnya akan dibawa oleh darah dan akan didistribusikan ke seluruh bagian tubuh. Metabolisme akan terjadi di dalam alat-alat tubuh yang memang berfungsi untuk hal tersebut dan pada sel-sel serta jaringan yang mampu melakukannya. Eliminasi akan dilakukan oleh alat-alat ekskresi, terutama ginjal, dalam bentuk kemih dan lewat usus dalam bentuk tinja.
Senyawa-senyawa dalam bentuk asli maupun metabolitnya akan tertinggal atau tertahan di dalam jaringan untuk waktu tertentu tergantung pada waktu paruh senyawa tersebut atau metabolitnya. Pada kondisi ternak yang sehat kecepatan eliminasi akan jauh lebih cepat daripada ternak sakit. Dalam keadaan tubuh lemah atau terdapat gangguan alat metabolisme, maka eliminasi obat akan terganggu. Apabila senyawa-senyawa tersebut diberikan dalam waktu yang lama, maka akan terjadi timbunan senyawa atau metabolitnya di dalam tubuh, itulah yang disebut dengan residu. Jadi residu obat adalah akumulasi dari obat atau metabolitnya dalam jaringan atau organ hewan/ternak setelah pemakaian obat hewan.
Pada usaha peternakan, residu dapat ditemukan pada bahan-bahan yang berasal dari ternak sebagai akibat penggunaan obat-obatan, termasuk antibiotik, pemberian feed additive, ataupun hormon yang digunakan untuk memacu pertumbuhan hewan. Semakin intensif suatu usaha peternakan maka kemungkinan untuk tertimbunnya residu semakin besar dan bahkan tidak terhindarkan lagi. Residu juga bisa berasal dari obat-obatan yang digunakan untuk mencegah kerusakan bahan pakan, yang mungkin bisa berupa pestisida, herbisida, fungisida dan antiparasitika
Terdapat lebih dari 40 jenis antibiotik (termasuk senyawa sulfa) telah digunakan dalam upaya peningkatan hasil usaha di bidang peternakan. Penggunaan antibiotik untuk tujuan pengobatan penyakit atau untuk memacu pertumbuhan pada ternak harus dilandasi dengan pengetahuan farmakokinetik dan farmakodinamik serta patofisiologi, jika tidak maka akan timbul kerugian yang besar, baik berupa bahaya terhadap ternak itu sendiri maupun terhadap manusia yang mengkonsumsinya.
Seringkali peternak tidak memperhatikan aturan pakai pemberian antibiotik, sehingga antibiotik yang diberikan sering di bawah dosis sehingga tidak manghasilkan kesembuhan pada ternak. Antibodi yang dibentuk di dalam tubuh tidak dapat pulih kembali, agen penyakit terus berkembang dalam kondisi yang lebih resisten. Selanjutnya penyakit akan kembali lagi dengan serangan yang lebih hebat dan tidak peka lagi terhadap jenis antibiotik yang sama dalam dosis yang sama. Keadaan tersebut memaksa petermak mempertinggi dosis pemakaian antibiotik. Akibat selanjutnya akan timbul shock pada ternak dan akan membunuh flora yang berada di usus ternak, sehingga sintesis vitamin oleh tubuh ternak terganggu serta terjadi super infeksi (infeksi baru).
Hal lain yang perlu untuk dipelajari adalah bahwa antibiotik tidak dapat seluruhnya diekskresi dari jaringan tubuh ternak, seperti : daging, air susu dan telur. Hal ini berarti sebagian antibiotik masih tertahan dalam jaringan tubuh sebagai bentuk residu.
Terdapat beberapa residu obat yang terdapat dalam produk ternak setelah pengolahan. Residu obat yang sering ditemukan antara lain adalah tetrasiklin, streptomisin, khloramfenikol dan benzyl-penicillin.
Tetrasiklin yang terdapat pada produk ternak sebanyak 5 ppm sampai dengan 10 ppm akan didegradasi dan hanya tersisa 1 ppm. Toksisitas produk degradasi tersebut belum diketahui. Streptomisin tidak terpengaruh oleh pemanasan pada temperatur 1000C selama 2 jam. Khloramfenikol stabil terhadap panas. Pemanasan pata temperatur 1000C selama 30 menit akan menurunkan kadar menjadi 80%. Khloramfenikol hanya boleh digunakan oleh ternak bukan produksi.
Pemanasan pada temperatur 600C sampai 850C akan menyebabkan benzyl-penicillin yang terdapat dalam daging terdegradasi dan dengan pemanasan yang lebih tinggi lagi meyebabkan terjadinya isomerisasi dari produk degradasi tersebut. Toksisitas produk degradasi tersebut belum diketahui.
Problem kesehatan manusia akan timbul jika manusia mengkonsumsi hasil ternak yang mengandung residu antibiotik. Beberapa efek yang mungkin timbul pada manusia akibat residu antibiotik, antara lain Penicillin seringkali menyebabkan alergi bagi manusia yang mengkonsumsinya dan menyebabkan gangguan kulit, kardiovaskuler, traktus gastrointestinalis, berupa diare dan sakit perut serta urtikaria dan hipotensi. Tetracyclin menyebabkan gangguan kulit, fotosensitifitas, muntah, diare, shock anafilaksis yang diikuti kematian. Streptomycin menimbulkan gangguan pada susunan syaraf pusat dan tepi, pusing-pusing, gangguan alat pendengaran, gangguan keseimbangan, vertigo dan ketulian. Chloramfenikol menimbulkan anemia dan leukopenia.
Selain pengaruh-pengaruh di atas, antibiotik juga berdampak negatif terhadap ternak, antara lain berupa hambatan pertumbuhan, penurunan daya tetas, toksisitas dan residunya dalam telur, daging maupun susu. Furaltadone bersifat menghambat pertumbuhan, Furazalidone menyebabkan penurunan daya tetas dan kelompok Sulfa sering menyebabkan toksisitas apabila kelebihan dosis. Chlorampenicol, Doxycyclin, Spyramycin, Tylosin, ditemukan :sebagai residu dalam telur dan daging. Tetracyclin,:Chloramphenicol dan Neomycin (TCN), mengganggu kehidupan mikroflora usus.
Resistensi Bakteri
Resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain (1) adanya mikroorganisme yang menghasilkan enzim yang dapat merusak aktivitas obat (2) adanya perubahan permeabilitas dari mikroorganisme (3) adanya modifikasi reseptor site pada bakteri sehingga menyebabkan afinitas obat berkurang (4) adanya mutasi dan transfer genetik.
Transfer genetik antara strain Shigella telah ditemukan oleh Watanebe (1963), antara strain Gram negatif ditemukan oleh Falkow et al. (1966). Transfer resistensi bisa terjadi dari satu penderita ke penderita dan dari pangan asal ternak ke manusia.
Ransum ternak dan ikan pada awalnya tidak diberi tambahan antibakteri, tetapi dalam dekade terakhir antibakteri banyak digunakan dengan alasan untuk memperbaiki pertumbuhan dan produksi. Di Denmark, penggunaan antibakteri untuk kepentingan pakan tambahan jauh lebih besar daripada untuk tujuan pengobatan. Di Indonesia, penggunaan antibakteri sebagai pakan tambahan sudah digunakan dalam waktu yang cukup lama, namun sampai saat ini belum ada monitoring untuk mengetahui dampak negatif dari antibakteri tersebut. Di Negara-negara Eropa, monitoring tersebut sudah dilakukan secara rutin, dan karena terbukti memberikan dampak negatif, maka muncul larangan terhadap penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan. Larangan tersebut berawal dari diketahuinya bakteri yang resisten terhadap tetrasiklin, dimana tetrasiklin merupakan antibakteri yang paling banyak digunakan di Eropa.
Resistensi bakteri terhadap antibakteri sebagian besar terjadi karena perubahan genetik dan dilanjutkan serangkaian proses seleksi oleh antibakteri. Seleksi antibakteri adalah mekanisme selektif antibakteri untuk membunuh bakteri yang peka dan membiarkan bakteri yang resisten tetap tumbuh. Proses seleksi ini terjadi karena penggunaan antibakteri yang sama yang tidak terkendali. 
Resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat ditekan melalui cara-cara, antara lain (1) mempertahankan kadar antibiotik yang cukup dalam jaringan untuk menghambat populasi bakteri asli dan yang mengalami mutasi tingkat rendah (2) memberi dua obat yang tidak memberi resisten silang secara simultan, masing-masing menunda timbulnya mutan resisten terhadap obat yang lain.
Pada awalnya masalah resistensi bakteri terhadap antibiotik bisa diatasi dengan penemuan golongan baru antibiotik dan modifikasi kimiawi antibiotik yang sudah ada, namun tidak ada jaminan bahwa pengembangan antibiotik baru dapat mencegah kemampuan bakteri pathogen untuk menjadi resisten. Bakteri memiliki seperangkat cara beradaptasi terhadap lingkungan yang mengandung antibiotik. Problem yang cukup penting adalah kemampuan bakteri untuk mendapatkan materi genetik eksogenous yang bisa menimbulkan terjadinya resistensi. Spesies pneumokokki dan meningokokki dapat mengambil materi DNA dari luar sel (eksogenous) dan mengkombinasikannya ke dalam kromosom.
Dampak Positif Penggunaan Antibiotik Sebagai Imbuhan Pakan Ternak
Pada usaha peternakan modern, imbuhan pakan (feed additive) sudah umum digunakan oleh peternak. Suplemen ini dimaksudkan untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan efisiensi pakan dengan mengurangi mikroorganisme pengganggu (patogen) atau meningkatkan populasi mikroba yang menguntungkan yang ada di dalam saluran pencernaan.
Penggunaan preparat antibiotik sebagai imbuhan pakan bertujuan untuk memperbaiki tampilan produksi ternak, seperti : peningkatan laju pertumbuhan, sehingga mendekati pertumbuhan yang ideal sesuai dengan potensi genetik yang dimiliki ternak. Perbaikan konversi pakan dan perbaikan kondisi tubuh ternak, sehingga antibiotik sebagai imbuhan pakan disebut sebagai Antibiotic Growth Promotors (AGP). Penggunaan AGP dalam pakan telah terbukti menguntungkan. Keuntungan yang bisa diperoleh antara lain (1) kondisi sel-sel epitel usus akan jauh lebih baik, termasuk perkembangan jaringan limfoid yang ada di usus. Keadaan ini akan menciptakan kesehatan ternak yang lebih optimal dengan respon pertahanan tubuh serta reaksi imunologis yang lebih baik. Dan selanjutnya akan menurunkan angha kematian ternak dan menekan biaya pengobatan (2) reruntuhan sel-sel yang dikeluarkan lewat feses pada ternak yang mengkonsumsi AGP lebih sedikit, dengan demikian jumlah feses secara total juga sedikit, sehingga hal ini akan mengurangi kontaminasi lingkungan dan menekan biaya penanganan limbah (3) kadar amoniak dalam feses pada ternak pengkonsumsi AGP jauh lebih rendah (4) tidak mengganggu fungsi biologis flora di dalam usus dan tidak bertujuan membunuh bakteri yang bersifat patogen, karena jumlah antibiotik yang digunakan sebagai AGP jauh di bawah dosis terapeutik (pengobatan) ataupun kadar hambat minimal (MIC: Minimal Inhibitory Concentration) dan tidak menyebabkan resistensi terhadap bakteri.
Batas Toleransi Antibiotik
Sebagai konsekuensi keadaan di atas, maka mengharuskan pemerintah menetapkan batas-batas keamanan residu dalam pakan dan produk-produk ternak yang diperdagangkan.
Produk daging, telur dan susu yang mengandung residu obat masih layak untuk dikonsumsi, jika kadar residu masih berada di bawah batas toleransi. Batas toleransi adalah kadar residu obat maksimal yang masih diperkenankan terdapat dalam daging ayam yang dikonsumsi. Obat yang sangat toksik yang mempunyai potensi karsinogenik (dapat menyebabkan kanker), toleransi kadar residunya di dalam daging ayam harus nol.
Diperlukan perangkat-perangkat lunak dalam bentuk aturan-aturan untuk melindungi konsumen dari akibat negatif di atas. Aturan-aturan tersebut ditujukan terutama untuk produsen pakan ternak, pabrik obat-obatan hewan, semua orang termasuk Dokter Hewan dan peternak yang terlibat dengan penggunaan obat-obatan hewan.Batas-batas toleransi residu pada spesies ternak dan jaringan tubuh ternak ditentukan melalui uji coba atau penelitian dengan menggunakan hewan-hewan percobaan yang peka terhadap jenis obat yang digunakan dalam praktek. Keputusan batas-batas toleransi dan pemberian izin produksi obat-obatan setiap saat dapat berubah apabila hasil penelitian mengharuskannya. 
Tags: pengobatan, prinsip pengobatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar