Oleh :
Drh. Imbang Dwi Rahayu, MKes.
Staf Pengajar Jurusan Peternakan
Fakultas Pertanian-Peternakan
Universitas Muhammadiyah Malang
Pemberian obat-obatan (kemoterapeutika) pada
ternak bertujuan untuk mengatasi serangan penyakit. Pengobatan hanya digunakan
setelah usaha pencegahan dan pengendalian penyakit terlaksana dengan baik.
Pertimbangan penting untuk membantu pengobatan
ternak secara efektif yang dapat diikuti, antara lain adalah (1) diagnosis
harus ditegakkan dengan isolasi dan identifikasi penyebab penyakit melalui
pemeriksaan mikrobiologis (2) bibit penyakit harus peka terhadap obat terpilih
(3) obat-obatan diberikan berdasarkan dosis dan waktu pemberian yang
tepat yang sesuai dengan rekomendasi pabrik pembuat obat (4) harus dilakukan
kontrol respon ternak terhadap obat yang telah diberikan (5) pengobatan hanya
dilakukan apabila diproyeksikan masih menguntungkan (6) harus mengetahui dan
mematuhi waktu henti obat (withdrawl time), untuk menghindari residu
obat.
Penggunaan antibiotik di bidang peternakan sudah
sangat luas, baik sebagai imbuhan pakan maupun untuk tujuan pengobatan. Dampak
yang ditimbulkan bisa menguntungkan atau merugikan tergantung dari berbagai
faktor, termasuk dosis, route pemberian, dan sering tidaknya antibiotik jenis
tertentu digunakan.
Penggunaan Antibiotik dalam Bidang
Peternakan
Antibiotik merupakan senyawa kimia yang
dihasilkan oleh berbagai jasad renik, seperti bakteri dan jamur yang memiliki
fungsi menghentikan pertumbuhan atau membunuh jasad renik. Penicillin
dihasilkan oleh Penicillium, Cephalosporin dihasilkan oleh Cephalosporium.
Antibiotik yang diperoleh secara alami oleh mikroorganisme disebut antibiotik
alami, antibiotik yang disintesis di laboratorium disebut antibiotik sintetis,
seperti sulfa. Antibiotik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan dimodifikasi
di laboratorium dengan menambahkan senyawa kimia disebut antibiotik
semisintetis.
Berdasarkan cara kerjanya, antibiotik dibedakan
dalam 4 kelompok, yaitu (1) antibiotik
penghambat sintesis dinding sel, misalnya Penicillin, Bacitrasin,
Novobiosin, Sefalosporin dan Vancomisin (2) antibiotik
perusak membrane sel, misalnya Polimixin, Colistin, Novobiosin,
Gentamisin, Nistatin dan Amfoterisin B (3) antibiotik
penghambat sintesis protein, misalnya Tetrasiklin, Khloramfenikol,
Neomisin, Streptomisin, Kanamisin, eritromisin, Oleandomisin, Tilosin dan
Linkomisin (4) antibiotik penghambat sintesis asam
nukleat, misalnya Aktinomisin, Sulfonamida dan derivat kuinolon.
Antibiotik dibedakan juga berdasarkan kemampuannya
menekan pertumbuhan atau membunuh bakteri, yaitu antibiotik yang bersifat bakterisidal
dan bakteriostatik. Antibiotik bakterisidal adalah
antibiotik yang mampu membunuh sel bakteri, contohnya: Penicillin,
Streptomisin, Bacitrasin, Neomisin, Polimiksin dan Nitrofurans. Antibiotik yang
bersifat bakteriostatik yaitu antibiotik yang hanya mampu
menekan pertumbuhan sel bakteri, contohnya : sediaan Sulfa, Tetrasiklin,
Khloramfenikol, Eritromisin, Tilosin, Oleandomisin dan Nitrofuran.
Secara umum antimikroba yang mempengaruhi
pembentukan dinding sel atau permeabilitas membrane sel bekerja sebagai
bakterisid, sedangkan yang mempengaruhi sintesis protein bekerja sebagai
bakteriostatik. Bakterisid adalah zat yang dapat membunuh bakteri dan
bakteriostatik adalah zat yang dapat mencegah pertumbuhan bakteri, sehingga
populasi bakteri tetap. Beberapa senyawa kimia antimikroba, antara lain fenol,
alkohol, halogen, logam berat, zat warna, deterjen, senyawa ammonium kuartener,
asam dan basa.
Berdasarkan atas sifat bakteri yang peka,
antibiotik dibedakan dalam 3 kelompok, yaitu (1) antibiotik yang peka
terhadap bakteri Gram-positif, misalnya Penicillin, Basitrasin,
Novobiosin, Sefalosporin, Eritromisin, Tilosin dan Oleandomisin 2)
antibiotik yang peka terhadap bakteri Gram-negatif, misalnya
Streptomisin dan Dehidrostreptomisin, Neomisin, Polimiksin, Colistin, Kanamisin
dan Gentamisin (3) antibiotik spektrum luas,
seperti Ampisillin, Amoksisillin, Tetrasiklin, Khloramfenikol, sediaan Sulfa,
Nitrofurans dan Sefalosporin.
Dampak Negatif Penggunaan Antibiotik di Bidang Peternakan
Residu Antibiotik
Tiap
senyawa anorganik atau organik, baik yang berupa obat-obatan, mineral atau
hormon yang masuk atau dimasukkan ke dalam tubuh individu, akan mengalami
berbagai proses yang terdiri dari : penyerapan (absorbsi), distribusi,
metabolisme (biotransformasi) dan eliminasi.
Kecepatan
proses biologik tersebut di atas tergantung kepada jenis dan bentuk senyawa,
cara masuknya dan kondisi jaringan yang memprosesnya. Apabila bahan tersebut dimasukkan
melalui mulut, penyerapan terjadi di dalam saluran pencernaan yang sebagian
besar dilakukan oleh usus. Setelah terjadi penyerapan , senyawa yang berbentuk
asli maupun metabolitnya akan dibawa oleh darah dan akan didistribusikan ke
seluruh bagian tubuh. Metabolisme akan terjadi di dalam alat-alat tubuh yang
memang berfungsi untuk hal tersebut dan pada sel-sel serta jaringan yang mampu
melakukannya. Eliminasi akan dilakukan oleh alat-alat ekskresi, terutama
ginjal, dalam bentuk kemih dan lewat usus dalam bentuk tinja.
Senyawa-senyawa
dalam bentuk asli maupun metabolitnya akan tertinggal atau tertahan di dalam
jaringan untuk waktu tertentu tergantung pada waktu paruh senyawa tersebut atau
metabolitnya. Pada kondisi ternak yang sehat kecepatan eliminasi akan jauh
lebih cepat daripada ternak sakit. Dalam keadaan tubuh lemah atau terdapat
gangguan alat metabolisme, maka eliminasi obat akan terganggu. Apabila
senyawa-senyawa tersebut diberikan dalam waktu yang lama, maka akan terjadi
timbunan senyawa atau metabolitnya di dalam tubuh, itulah yang disebut dengan
residu. Jadi residu obat adalah akumulasi dari obat atau metabolitnya dalam
jaringan atau organ hewan/ternak setelah pemakaian obat hewan.
Pada
usaha peternakan, residu dapat ditemukan pada bahan-bahan yang berasal dari
ternak sebagai akibat penggunaan obat-obatan, termasuk antibiotik, pemberian feed
additive, ataupun hormon yang digunakan untuk memacu pertumbuhan hewan.
Semakin intensif suatu usaha peternakan maka kemungkinan untuk tertimbunnya
residu semakin besar dan bahkan tidak terhindarkan lagi. Residu juga bisa
berasal dari obat-obatan yang digunakan untuk mencegah kerusakan bahan pakan,
yang mungkin bisa berupa pestisida, herbisida, fungisida dan antiparasitika
Terdapat
lebih dari 40 jenis antibiotik (termasuk senyawa sulfa) telah digunakan dalam
upaya peningkatan hasil usaha di bidang peternakan. Penggunaan antibiotik untuk
tujuan pengobatan penyakit atau untuk memacu pertumbuhan pada ternak harus
dilandasi dengan pengetahuan farmakokinetik dan farmakodinamik serta
patofisiologi, jika tidak maka akan timbul kerugian yang besar, baik berupa
bahaya terhadap ternak itu sendiri maupun terhadap manusia yang
mengkonsumsinya.
Seringkali
peternak tidak memperhatikan aturan pakai pemberian antibiotik, sehingga
antibiotik yang diberikan sering di bawah dosis sehingga tidak manghasilkan
kesembuhan pada ternak. Antibodi yang dibentuk di dalam tubuh tidak dapat pulih
kembali, agen penyakit terus berkembang dalam kondisi yang lebih resisten.
Selanjutnya penyakit akan kembali lagi dengan serangan yang lebih hebat dan
tidak peka lagi terhadap jenis antibiotik yang sama dalam dosis yang sama.
Keadaan tersebut memaksa petermak mempertinggi dosis pemakaian antibiotik.
Akibat selanjutnya akan timbul shock pada ternak dan akan membunuh flora yang
berada di usus ternak, sehingga sintesis vitamin oleh tubuh ternak terganggu
serta terjadi super infeksi (infeksi baru).
Hal
lain yang perlu untuk dipelajari adalah bahwa antibiotik tidak dapat seluruhnya
diekskresi dari jaringan tubuh ternak, seperti : daging, air susu dan telur.
Hal ini berarti sebagian antibiotik masih tertahan dalam jaringan tubuh sebagai
bentuk residu.
Terdapat
beberapa residu obat yang terdapat dalam produk ternak setelah pengolahan.
Residu obat yang sering ditemukan antara lain adalah tetrasiklin, streptomisin,
khloramfenikol dan benzyl-penicillin.
Tetrasiklin
yang terdapat pada produk ternak sebanyak 5 ppm sampai dengan 10 ppm akan
didegradasi dan hanya tersisa 1 ppm. Toksisitas produk degradasi tersebut belum
diketahui. Streptomisin tidak terpengaruh oleh pemanasan pada temperatur 1000C
selama 2 jam. Khloramfenikol stabil terhadap panas. Pemanasan pata temperatur
1000C selama 30 menit akan menurunkan kadar menjadi 80%.
Khloramfenikol hanya boleh digunakan oleh ternak bukan produksi.
Pemanasan
pada temperatur 600C sampai 850C akan menyebabkan
benzyl-penicillin yang terdapat dalam daging terdegradasi dan dengan pemanasan
yang lebih tinggi lagi meyebabkan terjadinya isomerisasi dari produk degradasi
tersebut. Toksisitas produk degradasi tersebut belum diketahui.
Problem
kesehatan manusia akan timbul jika manusia mengkonsumsi hasil ternak yang
mengandung residu antibiotik. Beberapa efek yang mungkin timbul pada manusia
akibat residu antibiotik, antara lain Penicillin seringkali menyebabkan alergi
bagi manusia yang mengkonsumsinya dan menyebabkan gangguan kulit,
kardiovaskuler, traktus gastrointestinalis, berupa diare dan sakit perut serta
urtikaria dan hipotensi. Tetracyclin menyebabkan gangguan kulit, fotosensitifitas,
muntah, diare, shock anafilaksis yang diikuti kematian. Streptomycin
menimbulkan gangguan pada susunan syaraf pusat dan tepi, pusing-pusing,
gangguan alat pendengaran, gangguan keseimbangan, vertigo dan ketulian. Chloramfenikol
menimbulkan anemia dan leukopenia.
Selain pengaruh-pengaruh di atas, antibiotik juga
berdampak negatif terhadap ternak, antara lain berupa hambatan pertumbuhan,
penurunan daya tetas, toksisitas dan residunya dalam telur, daging maupun susu.
Furaltadone bersifat menghambat pertumbuhan, Furazalidone menyebabkan penurunan
daya tetas dan kelompok Sulfa sering menyebabkan toksisitas apabila kelebihan
dosis. Chlorampenicol, Doxycyclin, Spyramycin, Tylosin, ditemukan :sebagai
residu dalam telur dan daging. Tetracyclin,:Chloramphenicol dan Neomycin (TCN),
mengganggu kehidupan mikroflora usus.
Resistensi Bakteri
Resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik
dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain (1) adanya mikroorganisme yang
menghasilkan enzim yang dapat merusak aktivitas obat (2) adanya perubahan
permeabilitas dari mikroorganisme (3) adanya modifikasi reseptor site
pada bakteri sehingga menyebabkan afinitas obat berkurang (4) adanya mutasi dan
transfer genetik.
Transfer
genetik antara strain Shigella telah ditemukan oleh Watanebe (1963), antara
strain Gram negatif ditemukan oleh Falkow et al. (1966). Transfer resistensi
bisa terjadi dari satu penderita ke penderita dan dari pangan asal ternak ke
manusia.
Ransum
ternak dan ikan pada awalnya tidak diberi tambahan antibakteri, tetapi dalam
dekade terakhir antibakteri banyak digunakan dengan alasan untuk memperbaiki
pertumbuhan dan produksi. Di Denmark, penggunaan antibakteri untuk kepentingan
pakan tambahan jauh lebih besar daripada untuk tujuan pengobatan. Di Indonesia,
penggunaan antibakteri sebagai pakan tambahan sudah digunakan dalam waktu yang
cukup lama, namun sampai saat ini belum ada monitoring untuk mengetahui dampak
negatif dari antibakteri tersebut. Di Negara-negara Eropa, monitoring tersebut
sudah dilakukan secara rutin, dan karena terbukti memberikan dampak negatif,
maka muncul larangan terhadap penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan.
Larangan tersebut berawal dari diketahuinya bakteri yang resisten terhadap
tetrasiklin, dimana tetrasiklin merupakan antibakteri yang paling banyak
digunakan di Eropa.
Resistensi
bakteri terhadap antibakteri sebagian besar terjadi karena perubahan genetik
dan dilanjutkan serangkaian proses seleksi oleh antibakteri. Seleksi
antibakteri adalah mekanisme selektif antibakteri untuk membunuh bakteri yang
peka dan membiarkan bakteri yang resisten tetap tumbuh. Proses seleksi ini
terjadi karena penggunaan antibakteri yang sama yang tidak terkendali.
Resistensi
bakteri terhadap antibiotik dapat ditekan melalui cara-cara, antara lain (1)
mempertahankan kadar antibiotik yang cukup dalam jaringan untuk menghambat
populasi bakteri asli dan yang mengalami mutasi tingkat rendah (2) memberi dua
obat yang tidak memberi resisten silang secara simultan, masing-masing menunda
timbulnya mutan resisten terhadap obat yang lain.
Pada
awalnya masalah resistensi bakteri terhadap antibiotik bisa diatasi dengan
penemuan golongan baru antibiotik dan modifikasi kimiawi antibiotik yang sudah
ada, namun tidak ada jaminan bahwa pengembangan antibiotik baru dapat mencegah
kemampuan bakteri pathogen untuk menjadi resisten. Bakteri memiliki seperangkat
cara beradaptasi terhadap lingkungan yang mengandung antibiotik. Problem yang
cukup penting adalah kemampuan bakteri untuk mendapatkan materi genetik
eksogenous yang bisa menimbulkan terjadinya resistensi. Spesies pneumokokki dan
meningokokki dapat mengambil materi DNA dari luar sel (eksogenous) dan
mengkombinasikannya ke dalam kromosom.
Dampak Positif Penggunaan Antibiotik Sebagai Imbuhan Pakan Ternak
Pada
usaha peternakan modern, imbuhan pakan (feed additive) sudah umum digunakan
oleh peternak. Suplemen ini dimaksudkan untuk memacu pertumbuhan dan
meningkatkan efisiensi pakan dengan mengurangi mikroorganisme pengganggu
(patogen) atau meningkatkan populasi mikroba yang menguntungkan yang ada di
dalam saluran pencernaan.
Penggunaan preparat antibiotik sebagai imbuhan
pakan bertujuan untuk memperbaiki tampilan produksi ternak, seperti :
peningkatan laju pertumbuhan, sehingga mendekati pertumbuhan yang ideal sesuai
dengan potensi genetik yang dimiliki ternak. Perbaikan konversi pakan dan
perbaikan kondisi tubuh ternak, sehingga antibiotik sebagai imbuhan pakan
disebut sebagai Antibiotic Growth Promotors (AGP). Penggunaan AGP
dalam pakan telah terbukti menguntungkan. Keuntungan yang bisa diperoleh antara
lain (1) kondisi sel-sel epitel usus akan jauh lebih baik, termasuk
perkembangan jaringan limfoid yang ada di usus. Keadaan ini akan menciptakan
kesehatan ternak yang lebih optimal dengan respon pertahanan tubuh serta reaksi
imunologis yang lebih baik. Dan selanjutnya akan menurunkan angha kematian
ternak dan menekan biaya pengobatan (2) reruntuhan sel-sel yang dikeluarkan
lewat feses pada ternak yang mengkonsumsi AGP lebih sedikit, dengan demikian
jumlah feses secara total juga sedikit, sehingga hal ini akan mengurangi
kontaminasi lingkungan dan menekan biaya penanganan limbah (3) kadar amoniak
dalam feses pada ternak pengkonsumsi AGP jauh lebih rendah (4) tidak mengganggu
fungsi biologis flora di dalam usus dan tidak bertujuan membunuh bakteri yang
bersifat patogen, karena jumlah antibiotik yang digunakan sebagai AGP jauh di
bawah dosis terapeutik (pengobatan) ataupun kadar hambat minimal (MIC:
Minimal Inhibitory Concentration) dan tidak menyebabkan resistensi
terhadap bakteri.
Batas Toleransi Antibiotik
Sebagai konsekuensi keadaan di atas, maka
mengharuskan pemerintah menetapkan batas-batas keamanan residu dalam pakan dan
produk-produk ternak yang diperdagangkan.
Produk daging, telur dan susu yang mengandung
residu obat masih layak untuk dikonsumsi, jika kadar residu masih berada di
bawah batas toleransi. Batas toleransi adalah kadar residu obat maksimal yang
masih diperkenankan terdapat dalam daging ayam yang dikonsumsi. Obat yang
sangat toksik yang mempunyai potensi karsinogenik (dapat menyebabkan kanker),
toleransi kadar residunya di dalam daging ayam harus nol.
Diperlukan perangkat-perangkat lunak dalam bentuk
aturan-aturan untuk melindungi konsumen dari akibat negatif di atas.
Aturan-aturan tersebut ditujukan terutama untuk produsen pakan ternak, pabrik
obat-obatan hewan, semua orang termasuk Dokter Hewan dan peternak yang terlibat
dengan penggunaan obat-obatan hewan.Batas-batas toleransi residu pada spesies
ternak dan jaringan tubuh ternak ditentukan melalui uji coba atau penelitian
dengan menggunakan hewan-hewan percobaan yang peka terhadap jenis obat yang
digunakan dalam praktek. Keputusan batas-batas toleransi dan pemberian izin
produksi obat-obatan setiap saat dapat berubah apabila hasil penelitian
mengharuskannya.
Tags: pengobatan,
prinsip
pengobatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar